SEBUAH LORONG
DI KOTAKU
Indentitas novel
Judul : Sebuah lorong di kotaku
Karangan : NH. Dini
Cetakan :PT. Gramedia
Tabal buku : 1,3cm
Tema
: a. Setiap kita bertukar
pikiran tentang hal itu, pada akhirnya engkau senantiasa berkecil hati-hati
seolah-olah malulah engkau, bahwa masuk golongan bumi putera, yang kau sangka
aku menghinakannya. (2)
b. Pusaka yang akan ditinggalkan buat
anaknya tidaklah berarti, haruslah anak itu memperoleh ilmu dunia yang
setinggi-tingginya buat bekal hidupnya. (10
Latar
atau setting : a. Tempat
bermain Tenis (1)
“Tempat bermain tennis, yang dilindungi oleh pohon-pohon ketapang
disekitarnya, masih sunyi”.
b. Kota Solok (3).
“Aku tahu buat diriku sendiri, meskipun esok atau lusa di kota solok ini sudah
lazim berjalan berkeliaran memakai baju renang”
Penokohan
:
.
Penduduk (1)
b. Hanafi (2)
Golongan bumiputra atau orang bangsa Indonesia.
c. Carrie (2)
Sorang gadis bangsa barat yang amat cantik parasnya.
d. Nyonya Brom (6)
Administratur Afdelingsbank
Sinopsis.
Akhirnya
ibu mendapatkan sebuah rumah yang menyenangkan. Kami hidup tentram dalam
bimbingan ibu yang penuh kelembutan dan ayah yang berwibawa serta bijaksana.
Aku kesepian dan
kadang-kadang merasa bosan bermain sendirian, meninggu saudaraku pulang
sekolah.
Suatu hari
kami pergi ke rumah di desa, menumpang kereta api dan andong. Karili sangat
gembira setelah sampai di rumah kakek. Demikian juga kakek. Tak henti-hentinya
kami berbincang-bincang dengan kakek. Ayah pun tak lupa menanyakan keadaan dan
kesehatan kakek.
Hari kedua aku
diajak Paman Sarosa melihat isi kebun kakek, memetik kelapa, melihat kejernihan
air sungai yang mengalir di kebun. Terasa riyaman kehidupan di desa. Terdengar
derit tali timba, bunyi hewan, kicau burung, dan udara segar.
Banyak yang
kulakukan selama di rumah kakek. Turut menjaga ladang, menghalau burung, ikut
memandikan kerbau anak gembala bersama kakakku, Teguh Nugroho.
Dua hari telah
berlalu aku harus pulang meninggalkan desa kakek, berpisah dengan paman. Aku merasa
sangat sedih.
Di Madiun kami
singgah di rumah Pak De dan Bu De. Di rumah ini kegiatan kami selalu diawasi.
Bu De selalu hendak serba teratur. Karena itu aku merasa tidak puas.
Karena keadaan
perang ibu mempersiapkan banyak makanan. Makanan itu disimpan di atas loteng.
Setiap malam banyak tetangga datang ke rumah untuk mendengarkan siaran radio
dan mendengar tentang berita perang.
Aku dijemput
Paman Sarosa untuk berlibur selama bulan puasa di tempat kakek. Aku tinggal di
rumah kakek bersama Maryam. Aku senang beneman dengan Maryam karena kami
mempunyai beberapa persamaan.
Aku mulai sekolah.
Semua kakakku sekolah di HIS. Di HIS semua murid harus berbahasa Belaflda. Tapi
ayah selalu mewajibkan kami berbahasa Jawa.
Suatu hari ketika
aku asyik bermain dengan teman-teman Maryam memaksa pulang karena kami akan
mengungsi ke kampung Batan. Kami mengungsi di sini bersama-sama pengungsi lain.
Karena ibu tidak mau mengungsi, ayah membuat lubang perlindungan di bawah pohon
mangga. Untuk penutupnya digunakan ranting-ranting dan daun. Dindingnya
dilapisi beberapa helai kasur. Semua sekolah dan kantor tutup. Kendaraan umum
tidak boleh lagi hilir mudik. Kekurarigan bahan
makanan mulai terasa. Indonesia tidak lagi diduduki
Belanda, melainkan oleh Jepang. Belanda menyerah kalah kepada Jepang dan
seluruh daerah jajahan Belanda jatuh ke tangan Jepang
Biografi
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini.
Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima
(bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, seorang pegawai
perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah. Bakat menulisnya tampak sejak
berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul
“Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga
ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Namun, setelah mengetahui penulisnya
anak-anak, Belanda mengalah.
Dini bercita-cita menjadi dokter hewan. Namun, ia tidak dapat mewujudkan cita-cita itu karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Ia hanya dapat mencapai pendidikannya sampai sekolah menengah atas jurusan sastra. Ia mengikuti kursus B1 jurusan sejarah (1957). Di samping itu, ia menambah pengetahuan bidang lain, yaitu menari Jawa dan memainkan gamelan. Meskipun demikian, ia lebih berkonsentrasi pada kegiatan menulis. Hasil karyanya yang berupa puisi dan cerpen dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta (1952), majalah Mimbar Indonesia, dan lembar kebudayaan Siasat. Pada tahun 1955 ia memenangkan sayembara penulisan naskah sandiwara radio dalam Festival Sandiwara Radio di seluruh Jawa Tengah.
Kegiatan lain yang dilakukannya ialah mendirikan perkumpulan seni Kuncup Mekar bersama kakaknya.Kegiatannya ialah karawitan dan sandiwara. Nh. Dini juga bekerja, yaitu di RRI Semarang, tetapi tidak lama. Kemudian, ia bekerja di Jakarta sebagai pramugari GIA (1957—1960).
Pada tahun 1960 Dini menikah dengan seorang diplomat Prancis yang bernama Yves Coffin. Ia mengikuti tugas suaminya di Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat. Karena bersuamikan orang Prancis, Dini beralih warga negaranya menjadi warga negara Prancis. Dari perkawinannya itu Dini mempunyai dua orang anak, yaitu Marie Claire Lintang dan Louis Padang. Terhadap kedua anaknya itu, Dini memeberi kebebasan budaya yang akan dianut dan bahasa yang akan dipelajari. Untuk mengajarkan budaya Indonesia, Dini menyuruh anaknya mendengarkan musik Indonesia, terutama gamelan Jawa, Bali, dan Sunda serta melatihnya menari.
Pada tahun 1984 Dini bercerai dengan suaminya. Pada tahun 1985 kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Ia memutuskan kembali ke kampung halamannya dan melanjutkan menulis serta mendirikan taman bacaan anak-anak yang bernama Pondok Baca N.H. Dini yang beralamat di Perumahan Beringin Indah, jalan Angsana No. 9, Blok A-V Ngalian, Semarang 50159, Jawa Tengah.
Pengalaman menjadi istri diplomat memperkaya pengetahuannya sehingga banyak mempengaruhi karya-karyanya, seperti karyanya yang berlatar kehidupan Jepang, Eropa, dan Amerika.
Dini bercita-cita menjadi dokter hewan. Namun, ia tidak dapat mewujudkan cita-cita itu karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Ia hanya dapat mencapai pendidikannya sampai sekolah menengah atas jurusan sastra. Ia mengikuti kursus B1 jurusan sejarah (1957). Di samping itu, ia menambah pengetahuan bidang lain, yaitu menari Jawa dan memainkan gamelan. Meskipun demikian, ia lebih berkonsentrasi pada kegiatan menulis. Hasil karyanya yang berupa puisi dan cerpen dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta (1952), majalah Mimbar Indonesia, dan lembar kebudayaan Siasat. Pada tahun 1955 ia memenangkan sayembara penulisan naskah sandiwara radio dalam Festival Sandiwara Radio di seluruh Jawa Tengah.
Kegiatan lain yang dilakukannya ialah mendirikan perkumpulan seni Kuncup Mekar bersama kakaknya.Kegiatannya ialah karawitan dan sandiwara. Nh. Dini juga bekerja, yaitu di RRI Semarang, tetapi tidak lama. Kemudian, ia bekerja di Jakarta sebagai pramugari GIA (1957—1960).
Pada tahun 1960 Dini menikah dengan seorang diplomat Prancis yang bernama Yves Coffin. Ia mengikuti tugas suaminya di Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat. Karena bersuamikan orang Prancis, Dini beralih warga negaranya menjadi warga negara Prancis. Dari perkawinannya itu Dini mempunyai dua orang anak, yaitu Marie Claire Lintang dan Louis Padang. Terhadap kedua anaknya itu, Dini memeberi kebebasan budaya yang akan dianut dan bahasa yang akan dipelajari. Untuk mengajarkan budaya Indonesia, Dini menyuruh anaknya mendengarkan musik Indonesia, terutama gamelan Jawa, Bali, dan Sunda serta melatihnya menari.
Pada tahun 1984 Dini bercerai dengan suaminya. Pada tahun 1985 kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Ia memutuskan kembali ke kampung halamannya dan melanjutkan menulis serta mendirikan taman bacaan anak-anak yang bernama Pondok Baca N.H. Dini yang beralamat di Perumahan Beringin Indah, jalan Angsana No. 9, Blok A-V Ngalian, Semarang 50159, Jawa Tengah.
Pengalaman menjadi istri diplomat memperkaya pengetahuannya sehingga banyak mempengaruhi karya-karyanya, seperti karyanya yang berlatar kehidupan Jepang, Eropa, dan Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar